[Let Me Re-start. . .]
Aku
melihat sebuah kenyataan yang terjadi dan masih sedang berlangsung diantara
keprihatinan dan kebahagiaan. Bukanlah hal yang mengherankan ketika terjadinya
pergesekan diantara kedua kondisi tersebut, tapi entah mengapa yang tampak dari
sisi ini sepertinya begitu unik dan jarang ditampilkan dalam alunan langkah
yang sedang kunikmati.. ya mungkin ada kekuatan yang tidak bisa dijelaskan dari
kondisi itu.
Eh
kenapa jadi meracau begini ya? Kenapa membahas keadaan yang sudah biasa dan
membasi? Untuk apakah menyesali kesalahan yang secara sadar kamu buat sendiri? Begitu
rentetan pertanyaanku kepada pria yang sepertinya baru merasakan pahitnya
kehilangan sebuah benda yang disebutnya sebagai ‘hati’. Malangnya dia, setelah
mencari kemana mana dia tidak menemukan bongkahan hati itu kalau memang sudah
pecah dia berharap menemukan meski hanya serpihannya saja. Karena jikalaupun
dia harus mengganti hatinya, dia tetap mau menyimpan serpihan dari hati yang
sudah hilang itu. Karena baginya meski begitu perihnya sisa dari hati [yang
tidak tau hilang ataukah sudah berpendar tersebut] dia tetap mau menyimpannya
menjadi sebuah guru dalam upayanya untuk menemukan lagi hati yang lain untuk
didudukkan pada singgasana yang sudah kosong
tanpa ada rasa dan batas nya.
Melihat
kondisinya seperti itu aku tertawa kecil dan membatin dalam diriku, separah itu
kah? Apakah dia pernah merasakan kehancuran yang lebih parah dan yang lebih
menyiksa ketimbang apa yang pernah kurasakan jika berbicara tentang benda yang
disebutnya ‘hati’ tersebut. Ya benar juga kalau semua orang itu unik dalam
menikmati atau juga menterjemahkan rasa sakit yang dialaminya. Ada yang justru
menyimpan rasa sakit itu dan menunggunya hingga berubah menjadi penawar/obat
baginya (sayangnya seringkali justru malah semakin memperparah rasa sakit itu)
potensi untuk mentransformasi rasa sakit itu menjadi penawarnya sangatlah kecil
sekali (hamper tak ada) tapi hamper semuanya mencoba seperti itu. Di dimensi
yang lain ada yang berusaha me replace dan
memaksakan hati yang ditemukannya cocok dan serasi dengan tempatnya tapi justru
malah menjadi sebuah bom waktu yang ditemani oleh penyesalan yang sama sekali
tidak bias ditarik kembali, akhirnya mau tidak mau hati itu akan hancur dan
menjadi hambar meski tampak serasi ditampilan depannya.
Kembali
kualihkan pandanganku terhadap pria yang menyedihkan itu, dia masih berusaha
meneruskan misinya untuk menemukan serpihan itu dan tampaknya ada kabar baik
dari guratan senyum kecil di bibirnya, dia menemukan secuil dari ‘hati’ yang
sudah lebur itu tapi melihat benda kecil itu tampaknya dia bias membayangkan
bentuk utuh dari ‘hati’ itu. Dia menamakannya ‘kenangan’. Itulah hebatnya
sebuah efek dari kata kenangan, meskipun kita hanya memiliki atau melihat
bagian kecilnya saja, kita bisa melihat lebih luas dan lebih lengkap dalam
bayangan kita karena smua bias seperti sebuah flash back yang sempurna. Ahk tapi
apalah gunanya itu pikirku, apa gunanya bagi pria itu untuk menyimpan kenangan
itu kalau toh memang itu justru malah menjadi penghambat baginya ketika dia
ingin meletakkan hati baru di dalam dirinya? Tidak mungkin dia menambahkan
kenangan itu pada selumbar hati yang baru yang ingin di mulainya dari nol lagi.
Atau dia berencana bukan memulai dari nol lagi? Apa maksudnya adalah untuk
menemukan kembali hati yang sudah lebur itu dalam bentukan yang baru tapi dalam
persona yang sama? Apa dia yakin dia bisa mendapatkan hati itu lagi kalau toh
ternyata hati itu sudah memilih yang lain dan sudah yakin dengan yang lain? Jadi
seolah ciptaan baru di dalam wadah yang sama, jua dengan karakter yang berbeda
dan tak senyaman dulu ketika harus berkomunikasi dan bahkan menanyakan kabar
saja sudah seperti bertemu dengan orang asing? Aku langsung menyeletuk “
sebaiknya jangannnn!!!” dia terperangah dan mencari tau darimana suara itu. Ahhh
untung saja dia tidak mengetahui keberadaanku. Pria itu kembali focus pada
aksinya. Dia sudah tau jikalau hati yang lebur tadi sudah me renew kembali
dengan bentukan yang baru dengan komponen yang baru tanpa ada luka dan juga
nama pria itu pun tak ada lagi disitu, dan hati itupun tidak mengenali dia !
yahh sama sekali tidak mengenalinya.
Dia
mengikuti kemana ‘hati’ itu berayun dan terbang menuju arah yang si pria itu
pun tidak mengenalinya. Kemudian di suatu tempat hati itu berhenti kepada sosok
yang dikenal oleh si pria itu, dari raut wajahnya tersirat bahwa ada ketakutan
dan ada sesuatu yang memberontak dalam dirinya, bahasa tubuhnya menunjukkan dia
tidak bisa tenang melihat apa yang sedang terjadi dihadapannya. Ternyata hati
itu sudah memilih singgasana yang lain… dia menggenggam secuil leburan hati
yang dia temukan tadi. Sesaat dia bahagia melihat hati yang dikenalinya itu
tapi ternyata hati itu sudah berbeda dan bukan seperti yang dia kenal dahulu. Dia
mereka-reka dalam angannya (yang tentu saja dengan mudah bisa aku lihat), sangat
sakit bila dia mencoba mendekati hati itu tadi dan berusaha untuk mengingatkan
hati itu akan sebuah perjalanan yang dulu pernah dilalui mereka, tapi
konsekuensinya adalah menahan rasa cemburu, menahan dan menerima kenyataan
kalau dia bukan lagi yang prioritas bagi hati yang sudah me renew dirinya itu. Pasti
sakit rasanya ketika ternyata hati itu lebih memilih orang yang baru dikenalnya
tapi mungkin sudah membuat dia senyaman yang dia inginkan. Ahkk aku melihat
raut putus asa di dalam diri pria malang itu. Tapi tunggu kenapa dia tetap
bertahan? Kenapa dia justru tersenyum ramah seperti itu? Dia mundur dari
pemandangan yang dilihatnya tapi kecurigaan ku adalah pria itu akan tetap
memperjuangkan hati itu, dia berjalan perlahan menghindar sembari tetap
memegang erat dalam genggamannya leburan hati yang dia temukan tadi. Ahk orang
yang aneh. Tapi biarlah hari ini biarkan saja dia seperti itu, dia sedang
menjadi bodoh karena baru menemukan secuil dari leburan hati yang dia hancurkan
sendiri.
[re-end. . .]
Komentar
Posting Komentar